Pertanyaan mengenai apakah gaji sekitar 60 dolar per bulan cukup untuk menarik warga Suriah menjadi tentara pasca-Assad merupakan isu yang sangat relevan. Kondisi ekonomi negara yang hancur akibat perang selama lebih dari satu dekade membuat pendapatan masyarakat sangat rendah. Dalam situasi ini, profesi tentara bisa menjadi pilihan sebagian orang, meski wajib militer tidak lagi diterapkan.
Di bawah rezim Assad, gaji tentara reguler bahkan lebih rendah daripada standar internasional. Banyak prajurit hanya menerima gaji antara 30 hingga 50 dolar per bulan. Sebagian besar dari mereka bertahan bukan karena imbalan finansial, melainkan karena terikat kewajiban wajib militer, tekanan sosial, atau tidak ada pilihan lain.
Dengan hilangnya sistem wajib militer, Suriah pasca-Assad menghadapi tantangan besar dalam membangun angkatan bersenjata profesional. Tanpa paksaan, satu-satunya cara merekrut tentara adalah melalui insentif. Jika gaji hanya 60 dolar per bulan, daya tariknya jelas terbatas.
Bagi banyak warga Suriah, angka 60 dolar nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Harga bahan pokok, sewa rumah, dan transportasi telah meningkat pesat akibat inflasi dan keruntuhan infrastruktur. Dalam kondisi seperti ini, gaji tentara lebih terlihat sebagai simbol pengabdian ketimbang sumber penghidupan.
Meski begitu, ada faktor lain yang bisa membuat profesi tentara tetap menarik. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai jalan untuk mendapatkan status sosial, akses ke jaringan politik, atau peluang ekonomi tidak langsung seperti bantuan logistik dan fasilitas. Bagi keluarga miskin, meski gaji kecil, kepastian pendapatan rutin bisa menjadi alasan.
Namun, jika dibandingkan dengan sektor lain, tentara dengan gaji 60 dolar bisa kalah bersaing. Misalnya, pekerja yang berhasil masuk ke lembaga internasional atau sektor swasta di wilayah perbatasan bisa memperoleh penghasilan jauh lebih besar, bahkan mendekati 500 dolar per bulan. Perbedaan ini akan membuat profesi militer kehilangan daya tarik.
Pemerintahan baru Suriah kemungkinan besar harus mempertimbangkan skema tambahan selain gaji. Misalnya, menyediakan fasilitas kesehatan gratis, subsidi makanan, atau jaminan pensiun. Hal ini akan menambah nilai bagi mereka yang bergabung, meski gaji pokoknya tidak besar.
Dalam sejarah banyak negara pascakonflik, tentara sering direkrut bukan hanya dengan uang, tetapi juga dengan janji masa depan. Rasa nasionalisme, kebutuhan menjaga keamanan lokal, dan peluang karier bisa menjadi faktor yang membuat orang tetap bersedia mendaftar. Suriah mungkin harus menggunakan pendekatan serupa.
Meski demikian, realitas ekonomi tidak bisa diabaikan. Dengan harga roti, bahan bakar, dan listrik yang terus naik, gaji 60 dolar cepat habis dalam hitungan minggu. Tanpa insentif tambahan, rekrutmen tentara secara sukarela akan sangat terbatas.
Di sisi lain, banyak pemuda Suriah yang tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Tingginya angka pengangguran bisa membuat profesi tentara tetap menarik meskipun gajinya kecil. Bagi sebagian orang, lebih baik mendapat 60 dolar rutin daripada tidak ada penghasilan sama sekali.
Kondisi ini juga membuka peluang risiko lain. Jika pemerintah tidak mampu memberikan gaji layak, kelompok bersenjata non-negara atau milisi bisa memanfaatkan celah tersebut dengan menawarkan bayaran lebih tinggi. Sejarah perang Suriah sudah menunjukkan bahwa banyak pemuda memilih bergabung dengan faksi bersenjata tertentu karena gaji dan fasilitas lebih baik.
Dalam jangka panjang, membangun tentara profesional dengan gaji rendah adalah tantangan berat. Negara-negara lain yang berhasil mereformasi militernya pascaperang biasanya menaikkan standar gaji sebagai langkah pertama untuk menarik tenaga terampil dan membangun disiplin.
Jika Suriah ingin keluar dari siklus konflik, tentara tidak boleh hanya dilihat sebagai "pekerjaan terakhir" bagi yang tidak punya pilihan. Profesi militer harus dipandang sebagai karier yang dihormati dengan imbalan layak. Untuk itu, 60 dolar jelas jauh dari cukup.
Meski begitu, ada kemungkinan bahwa pemerintah baru akan tetap memanfaatkan angka pengangguran tinggi untuk merekrut tentara dengan gaji kecil. Strategi ini mungkin berhasil jangka pendek, tetapi berisiko menciptakan pasukan yang tidak loyal, mudah korup, dan rentan direkrut pihak lain.
Bagi sebagian pemuda di pedesaan, profesi tentara bisa dipandang sebagai kesempatan keluar dari kemiskinan, meski gajinya rendah. Mereka mungkin berharap mendapatkan keuntungan sampingan seperti akses ke bantuan pangan, jaringan bisnis, atau perlindungan bagi keluarga mereka.
Namun di kota-kota besar seperti Aleppo dan Damaskus, gaji 60 dolar jelas tidak akan cukup untuk menarik minat. Warga perkotaan lebih terbiasa dengan biaya hidup tinggi, sehingga mereka akan menolak profesi militer kecuali ada kenaikan signifikan dalam gaji atau fasilitas.
Faktor lain yang menentukan adalah keamanan jangka panjang. Jika Suriah benar-benar memasuki fase stabil, risiko menjadi tentara berkurang. Dalam kondisi aman, orang mungkin mau menerima gaji rendah demi status pegawai tetap. Tetapi jika konflik masih berlanjut, risiko nyawa akan membuat gaji kecil tidak sepadan.
Secara politik, pemerintah baru juga tidak bisa mengandalkan militer murah tanpa memperhitungkan legitimasi. Tentara dengan gaji rendah rentan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk mencari tambahan penghasilan, misalnya pungli atau korupsi. Hal ini bisa merusak citra negara baru.
Pada akhirnya, gaji 60 dolar per bulan mungkin cukup untuk merekrut sebagian warga Suriah yang miskin dan tidak memiliki pilihan kerja lain. Namun, itu tidak cukup untuk membangun angkatan bersenjata profesional yang loyal dan berfungsi baik. Tanpa reformasi ekonomi yang serius, tentara Suriah pasca-Assad berisiko mengulang pola lama dengan pasukan lemah dan mudah goyah.
Kesimpulannya, gaji kecil hanya bisa menjadi solusi sementara. Jika pemerintahan baru benar-benar ingin menarik warga bergabung secara sukarela, mereka harus menggabungkan insentif finansial yang lebih layak dengan visi nasionalisme, jaminan sosial, dan stabilitas jangka panjang. Tanpa itu, profesi tentara tidak akan memiliki daya tarik di mata masyarakat Suriah.
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya














