Friday, June 20, 2025

Blaming the Victim dan Jalan Menuju Invasi Iran


Retorika media internasional terhadap serangan Israel ke Iran belakangan ini menunjukkan gejala klasik yang dikenal dalam psikologi politik sebagai blaming the victim. Meski secara formal berbagai media menyampaikan simpati terhadap potensi korban dari serangan militer Israel dan sekutunya, narasi utama yang dibangun justru menempatkan Iran sebagai pihak yang harus menanggung akibat dari situasi yang diciptakan oleh pihak luar. Skema ini bukan hal baru, dan pernah digunakan secara luas saat menjelang invasi Amerika Serikat ke Irak pada awal 2000-an.

Dalam banyak pemberitaan, sorotan terhadap pembelaan diri Iran sesuai piagam PBB dinarasikan oleh berbagai media sebagai sikap yang dianggap provokatif, mengancam stabilitas kawasan, atau dukungannya terhadap kelompok bersenjata. Padahal, negara itu tengah berada dalam posisi diserang secara terbuka oleh kekuatan asing. Beberapa jurnalis dan anchor bahkan terlihat ‘menuntun’ narasumber mereka dalam wawancara dengan pertanyaan yang seolah-olah telah menyimpulkan bahwa Iran adalah ancaman nyata yang patut disingkirkan sebelum benar-benar menyerang.

Model pemberitaan semacam ini tidak hanya membentuk opini publik global, tetapi juga memberikan pembenaran moral terhadap agresi militer yang mungkin dilakukan oleh Israel dan negara-negara Barat. Alih-alih mempertanyakan legalitas dan dampak kemanusiaan dari serangan ke Iran, sebagian media justru sibuk menyajikan skenario hipotetik seolah-olah Iran sudah bersalah dan tinggal menunggu waktu untuk dihukum.

Kondisi ini mirip dengan skenario yang terjadi pada awal Perang Teluk I atau Operation Desert Storm. Ketika itu, media memainkan peran penting dalam menciptakan konsensus global bahwa Irak adalah ancaman bagi dunia. Namun faktanya, butuh dua episode perang besar untuk menjatuhkan Saddam Hussein, dan selama hampir satu dekade setelahnya, warga Irak harus hidup dalam penderitaan, cuci otak, dan manipulasi informasi oleh kekuatan asing di kamp-kamp tahanan dan kamp pengungsian untuk agenda merusak Suriah tetangganya.

Model invasi bertahap yang dilakukan terhadap Irak bisa jadi akan kembali diterapkan terhadap Iran. Jika Donald Trump dan figur sejenis di Eropa memutuskan invasi atas nama 'solidaritas' san dukungan kepada serangan Israel ke Iran, kemungkinan besar pertempuran awal yang terjadi bersifat sporadis, menyasar wilayah strategis perbatasan, dan memfokuskan pada pendirian pangkalan drone serta pangkalan militer ringan, saat ini kemungkinan pangkalan Israel sudah ada di Iran namun masih berpindah-pindah atau hit and run.

Operasi awal itu kemudian akan dibalut dalam retorika ‘containment’ atau penahanan terhadap 'ancaman Iran', namun sejatinya merupakan tahap awal pembentukan kekuatan pendudukan permanen. Dengan pangkalan-pangkalan kecil di wilayah perbatasan seperti Kurdistan Irak atau Balochistan, kekuatan koalisi akan menjaga tekanan militer dan psikologis terhadap Teheran secara konstan.

Dalam kurun waktu satu dekade, tekanan itu akan terus ditingkatkan. Resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB akan dijadikan senjata diplomatik untuk melucuti kemampuan Iran secara ekonomi, militer, dan moral. Opini publik internasional diarahkan untuk melihat Iran bukan sebagai korban serangan, tapi sebagai sumber ketidakstabilan global yang tidak bisa diajak kompromi.

Bersamaan dengan itu, media akan menampilkan kisah-kisah dramatis dari pengungsi, eksil politik, dan minoritas yang dianiaya, semuanya untuk membentuk citra Iran sebagai negara gagal yang butuh “diselamatkan”. Skema naratif ini pernah diterapkan terhadap Suriah, Irak, bahkan Libya, dan terbukti efektif dalam menyiapkan medan sosial-politik untuk intervensi.

Ironisnya, dalam tahap-tahap itu, penderitaan warga Iran akan dieksploitasi untuk mempercepat proses pembusukan dari dalam. Sanksi ekonomi yang diperpanjang, embargo, dan tekanan mata uang akan membuat rakyat Iran semakin terjepit, hingga akhirnya muncul pemberontakan sosial yang dipolitisasi sebagai gerakan reformasi oleh media internasional.

Dalam konteks ini, media bukan lagi sekadar penyampai informasi, tetapi aktor aktif (embedded) dalam konflik. Mereka tidak hanya membentuk narasi, tetapi juga menciptakan kerangka berpikir yang meminggirkan hak-hak Iran sebagai negara berdaulat. Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: siapa yang menyerang lebih dulu, atau siapa yang memicu ketegangan, dikesampingkan demi narasi besar bahwa Iran adalah masalah dunia.

Dalam skenario jangka panjang, semua ini diarahkan pada penguasaan sumber daya alam Iran yang sangat besar, dari minyak, gas, hingga logam tanah jarang, sesuatu yang kemungkinan sudah diincar AS, Inggris, Perancis dll secara diam-diam. Pendirian pemerintahan boneka bukan hal mustahil, dan bahkan sudah mulai dibicarakan dalam forum-forum kebijakan think-tank Barat. Figur-figur diaspora Iran yang pro-Barat pun mulai dimunculkan sebagai alternatif rezim.

Apa yang paling menyedihkan dalam kondisi ini adalah terulangnya pola penaklukan modern melalui pembenaran media. Blaming the victim menjadi metode halus untuk menghapus perasaan bersalah kolektif atas agresi militer. Ketika korban diposisikan sebagai penyebab kekacauan, maka simpati dunia akan lebih mudah dialihkan kepada sang penyerang.

Dengan peran media yang semakin tersentral dan dikendalikan oleh jaringan korporasi yang terkait erat dengan kekuatan politik-militer, narasi alternatif nyaris tak mendapat ruang. Suara-suara dari dunia Islam, negara-negara Selatan, atau kelompok anti-perang dibungkam dalam balutan “verifikasi”, “etika jurnalisme”, atau “narasi netral”.

Namun sejarah menunjukkan bahwa pembusukan dari dalam bukan proses yang selalu mudah. Sebagaimana rakyat Irak dan Suriah, kemungkinan perlawanan yang akan diberikan oleh rakyat Iran yang berdaulat tidak boleh dianggap remeh. Justru, pengalaman traumatis akibat intervensi asing kerap memunculkan semangat perlawanan baru yang lebih terorganisir. Iran, dengan sejarah panjang ketahanannya, kemungkinan besar tidak akan menjadi pengecualian.

Kondisi yang tercipta saat ini adalah pertarungan antara narasi dan realitas. Selama narasi terus dimonopoli oleh kekuatan pro-perang, maka jalan menuju invasi Iran akan semakin dipercepat. Namun bila masyarakat global mampu membaca ulang permainan blaming the victim ini secara kritis, mungkin masih ada ruang bagi perdamaian dan diplomasi.

Saatnya publik dunia, khususnya dari negara-negara berkembang, mempertanyakan: apakah Iran benar-benar ancaman, atau hanya korban selanjutnya dari proyek perluasan dominasi dan penguasaan sumber daya oleh kekuatan lama yang tak pernah puas?


0 comments:

Miliarder Batak

Berita Tarutung

Daftar Restoran dan Hotel Batak

Pesantren Berbagi

Lowongan

Artis dan Nasyid Daerah

TSCFWA

PESANTREN ANTARIKSA

ACDI

Biak Spaceport

CAR&AUTOnews

Falak dan Antariksa

Space Tourism

BARUSNews