Tuesday, September 2, 2025

Dua Pemerintahan Paralel di Sudan dan Beberapa 'Negara Mini' di Dalamnya

Perang saudara yang berkecamuk di Sudan telah melampaui konflik militer semata. Saat ini, pertempuran telah menciptakan realitas politik baru yang memilukan, di mana negara terpecah menjadi beberapa entitas yang masing-masing dikendalikan oleh faksi bersenjata yang berbeda. Fenomena "negara di dalam negara" kini bukan lagi sekadar teori, melainkan kenyataan yang hidup dan beroperasi lama di berbagai penjuru negeri.

Secara umum Sudan kini memounyai dua presiden dan pemerintahan di Khartoum dan Nyala. Dua pemerintahan paralel, yang berupaya mengklaim otoritas di wilayah kekuasaan mereka. Dua faksi utama, Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang diakui dunia dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), telah mendirikan pusat-pusat kekuasaan yang bersaing satu sama lain, menciptakan kebingungan dan kekacauan administratif.

Di satu sisi, RSF yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan "Hemedti" Dagalo telah mengambil langkah signifikan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan sipil di bawah kendali mereka. Mereka tidak hanya menguasai wilayah secara militer, tetapi juga berupaya mengisi kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan oleh otoritas pusat.

Salah satu contoh paling mencolok dari upaya ini terlihat di Nyala, ibu kota Darfur Selatan. Kota tersebut kini berfungsi sebagai ibu kota de facto bagi RSF, di mana sebuah administrasi sipil yang terpisah telah dibentuk. Pemerintahan ini berupaya mengelola urusan publik, mulai dari layanan dasar hingga keamanan.

Bahkan, otoritas paralel ini telah menunjuk gubernur untuk delapan wilayah federal, sebuah langkah berani yang secara resmi menantang kedaulatan pemerintah pusat.

Tindakan ini menunjukkan bahwa RSF tidak lagi hanya berjuang untuk kekuasaan, melainkan juga untuk mendirikan sebuah negara tandingan yang sah.

Upaya RSF untuk membangun struktur pemerintahan sipil ini telah diakui oleh PBB dan Uni Afrika sebagai ancaman serius terhadap persatuan Sudan.

Keberadaan dua pemerintahan yang saling bersaing, yang satu berpusat di Port Sudan/Khartoum dan yang lain di wilayah kekuasaan RSF, telah mengancam kedaulatan negara.

Namun, tidak hanya RSF yang membangun kekuasaan paralel. Di wilayah yang dikendalikan oleh SAF, dinamika kekuasaan juga sama-sama rumit dan terfragmentasi. Meskipun SAF adalah representasi dari pemerintah, kendali mereka tidak absolut.

Sebaliknya, untuk mempertahankan kekuasaan, SAF telah menjalin aliansi strategis dengan berbagai milisi lokal yang bertindak sebaga 'negara mini' di wilayahnya. Mereka bergantung pada kelompok-kelompok bersenjata ini untuk mengamankan wilayah dan menghadapi serangan dari RSF. Hubungan ini lebih bersifat kemitraan daripada subordinasi.

Di Darfur, misalnya, SAF bersekutu dengan beberapa faksi dari Gerakan/Tentara Pembebasan Sudan (SLM/A) yang dipimpin oleh Minni Minnawi dan Mustafa Tambour. Kelompok-kelompok ini memiliki wilayah kekuasaan sendiri seperti sebuah 'negara merdeka' di dalam Sudan dan diakui sebagai sekutu penting dalam perang melawan RSF.

Selain itu, Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (JEM) yang dipimpin oleh Gibril Ibrahim juga telah bersekutu dengan SAF. Kelompok-kelompok ini tidak hanya membantu dalam pertempuran tetapi juga mengelola urusan di daerah-daerah yang mereka kuasai, menciptakan lapisan pemerintahan lain di bawah payung besar pemerintahan Sudsn versi Khartoum yang dikuasai SAF.

Kondisi ini menunjukkan bahwa bahkan di wilayah yang dianggap berada di bawah kendali pemerintah, kekuasaan sering kali terbagi di antara berbagai kelompok bersenjata yang memiliki agenda dan kepentingan mereka sendiri. Ini menambah kompleksitas dalam upaya untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

Situasi di Sudan menjadi semakin rumit dengan kehadiran kelompok bersenjata lain yang juga mengendalikan wilayah mereka sendiri. Salah satunya adalah faksi Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara (SPLM-N) yang dipimpin oleh Abdelaziz al-Hilu.

Kelompok ini telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Kordofan Selatan dan Nil Biru. Seperti RSF, mereka telah mendirikan otoritas sipil atau pemerintahan sendiri yang terpisah dari pemerintah Sudan. Mereka menerapkan hukum dan menyediakan layanan di wilayah yang mereka kuasai.

SPLM-N (al-Hilu) kini telah bersekutu dengan RSF dalam perang melawan SAF, memperluas jaringan pemerintahan paralel di Sudan. Kehadiran mereka di wilayah-wilayah strategis ini semakin memperkuat fragmentasi kekuasaan di seluruh negeri.

Secara keseluruhan, konsep satu negara kesatuan yang dikendalikan oleh satu pemerintahan pusat kini hanyalah teori, yang ada adalah sebuah konfederasi.

Realitas di lapangan adalah Sudan yang terbagi menjadi zona-zona pengaruh, masing-masing dikelola oleh milisi yang memiliki agenda dan prioritas mereka sendiri.

Konflik yang sedang berlangsung tidak hanya menghancurkan infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga memporak-porandakan struktur politik negara. Rakyat Sudan kini harus berhadapan dengan berbagai otoritas yang saling bersaing, yang seringkali memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki koordinasi.

Perpecahan ini telah menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam dan memperumit upaya untuk memberikan bantuan. Bantuan kemanusiaan sering kali harus bernegosiasi dengan banyak pihak untuk bisa mencapai wilayah-wilayah yang berbeda.

Masa depan Sudan tetap suram. Selama tidak ada kesepakatan politik yang mengembalikan kendali ke satu pemerintahan yang sah dan diakui, negara akan terus terperangkap dalam lingkaran kekerasan dan fragmentasi.

Meskipun pertempuran menjadi tajuk utama berita, kehancuran politik yang terjadi di baliknya akan memiliki konsekuensi jangka panjang yang jauh lebih serius. Sudan kini adalah sebuah contoh nyata dari sebuah negara yang hancur dari dalam, terbelah oleh ambisi kekuasaan dan ketidakpercayaan.

Skenario Positif

Di tengah puing-puing konflik yang menghancurkan Sudan, muncul sebuah skenario yang, meskipun terdengar utopis, menawarkan secercah harapan.

Bayangkan jika "negara-negara mini" yang terfragmentasi dan dikendalikan oleh milisi-milisi yang bersaing, alih-alih saling berebut kekuasaan, justru mengelola wilayah mereka dengan kompeten dan efisien. Fokus mereka bukan lagi pada dominasi, melainkan pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Di wilayah yang dikuasai Pasukan Dukungan Cepat (RSF), misalnya, administrasi sipil yang berbasis di Nyala tidak hanya menjadi simbol kekuasaan, tetapi juga menjadi motor penggerak pembangunan. Dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki, otoritas ini memprioritaskan perbaikan infrastruktur vital. Listrik dan air bersih yang terputus kini kembali berfungsi, dan sekolah-sekolah yang hancur mulai direnovasi. Kehadiran militer mereka yang kuat tidak lagi menjadi sumber ketakutan, melainkan jaminan stabilitas.

Sementara itu, di daerah yang dikuasai oleh faksi-faksi sekutu Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di Darfur, seperti Gerakan Pembebasan Sudan (SLM/A) pimpinan Minni Minnawi, pendekatan pemerintahan didasarkan pada partisipasi masyarakat. Administrasi sipil yang mereka bentuk berfokus pada proyek-proyek berbasis komunitas. Petani diberi bantuan untuk menghidupkan kembali sektor pertanian, dan pasar-pasar lokal dibuka kembali di bawah perlindungan mereka. Mereka menggunakan kendali mereka untuk membangun ekonomi akar rumput yang tangguh.

Jauh di jantung pegunungan, otoritas sipil di Jebel Marra yang dipimpin oleh Abdul Wahid al-Nur menjadi model otonomi yang berhasil. Mengandalkan pengalamannya dalam pemerintahan mandiri selama bertahun-tahun, administrasi ini mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Mereka mengorganisir pembangunan desa, memastikan pasokan makanan dan air yang aman, dan menciptakan pusat-pusat pendidikan yang berfokus pada pelatihan teknis, mempersiapkan generasi muda untuk masa depan yang lebih baik.

Ketika masing-masing faksi sibuk membangun "negaranya" sendiri, mereka menyadari bahwa pertumbuhan berkelanjutan tidak bisa dicapai tanpa kerja sama. Secara sukarela, para pemimpin milisi dan administrasi sipil itu membentuk Dewan Koordinasi Regional yang berfungsi sebagai forum netral untuk berdialog dan menyelesaikan masalah bersama. Dewan ini menjadi platform di mana para pemimpin duduk setara, membahas isu-isu vital yang melampaui batas-batas wilayah.

Salah satu hasil nyata dari kerja sama ini adalah pembukaan kembali rute perdagangan yang sebelumnya berbahaya.

Dengan perjanjian bersama, konvoi dagang kini dapat melintasi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh faksi-faksi yang berbeda, membawa barang-barang kebutuhan pokok dan bahan makanan ke seluruh penjuru Darfur. Perdagangan ini menjadi urat nadi yang menghidupkan kembali ekonomi regional, mengurangi kelaparan, dan menumbuhkan kembali harapan.

Selain itu, bantuan kemanusiaan yang sebelumnya sulit didistribusikan karena bentrokan dan birokrasi, kini dapat mengalir dengan lancar. Dewan Koordinasi Regional memastikan bahwa semua faksi setuju untuk memfasilitasi perjalanan konvoi bantuan, memungkinkan organisasi internasional menjangkau komunitas yang paling terisolasi. Bantuan medis, makanan, dan air bersih kini dapat mencapai mereka yang paling membutuhkan tanpa penundaan yang signifikan.

Para pemimpin milisi juga menyadari bahwa ancaman terbesar bagi kekuasaan mereka bukanlah satu sama lain, melainkan ketidakstabilan dan kejahatan.

Mereka membentuk tim keamanan gabungan untuk memberantas bandit dan kejahatan terorganisir di sepanjang perbatasan. Kerjasama ini tidak hanya meningkatkan keamanan, tetapi juga mulai membangun kepercayaan di antara kelompok-kelompok yang dulu berperang.

Meskipun Sudan tetap terbagi secara politik, dalam skenario ini, rakyatnya tidak lagi menjadi korban dari pertempuran kekuasaan yang tak berujung. Mereka menikmati stabilitas relatif, pemulihan ekonomi, dan akses ke layanan dasar. Dari reruntuhan konflik, tumbuh sebuah realitas yang didasarkan pada pemerintahan yang efektif, terlepas dari siapa yang memegang kendali.

Model ini tidak menawarkan solusi akhir untuk masalah politik Sudan, namun ini adalah sebuah langkah penting. Dengan membuktikan bahwa pemerintahan yang baik itu mungkin, bahkan dalam kondisi yang paling kacau, mereka membangun dasar yang kuat untuk rekonsiliasi dan mungkin, suatu hari nanti, menyatukan kembali negara. Realitas ini akan menjadi bukti bahwa perdamaian dimulai bukan dari meja perundingan tertinggi, melainkan dari upaya membangun kepercayaan dan kesejahteraan di tingkat masyarakat.


0 comments:

Miliarder Batak

Berita Tarutung

Daftar Restoran dan Hotel Batak

Pesantren Berbagi

Lowongan

Artis dan Nasyid Daerah

TSCFWA

PESANTREN ANTARIKSA

ACDI

Biak Spaceport

CAR&AUTOnews

Falak dan Antariksa

Space Tourism

BARUSNews