Gejolak di Suriah yang dimulai dari protes damai pada tahun 2011 telah berkembang menjadi salah satu konflik paling kompleks di era modern. Lebih dari satu dekade pertempuran telah mengubah negara itu menjadi mozaik kekuasaan yang terfragmentasi, di mana otoritas pusat hanya memiliki kendali atas sebagian wilayah, dan sisanya dikuasai oleh berbagai faksi bersenjata yang saling bersaing.
Pada masa-masa awal, ketika harapan akan perubahan masih membumbung tinggi, perlawanan terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad dengan cepat menyebar. Ribuan warga Suriah turun ke jalan, menuntut reformasi politik dan kebebasan. Namun, respons pemerintah yang brutal mengubah protes menjadi pemberontakan bersenjata yang meluas.
Di tengah gejolak itu, Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dibentuk oleh para desertir dari militer Assad didukung oleh AS dkk dan Arab. Mereka dengan cepat mendapatkan dukungan dari rakyat dan berhasil merebut kendali atas kota-kota kecil dan desa-desa di seluruh negeri.
Pada puncaknya, FSA dan faksi-faksi afiliasinya menguasai sebagian besar wilayah geografis Suriah.
Namun, kendali ini lebih bersifat simbolis. FSA tidak pernah memiliki komando pusat yang efektif. Setiap faksi beroperasi secara independen, mendirikan pengadilan, mengumpulkan pajak, dan memerintah wilayah mereka sendiri, seperti 'negara mini'.
Kondisi ini menciptakan puluhan entitas "negara di dalam negara" yang beroperasi tanpa koordinasi yang terpusat, sebuah kelemahan yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh kekuatan lain.
Tahun 2014 menjadi titik balik yang krusial. Perang saudara di Suriah menjadi jauh lebih rumit dengan munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang datang dari Irak. Kemunculan ISIS dan faksi-faksi radikal lain hasil dsri operasi intelijen 'hornet nest' AS dkk mengubah dinamika konflik secara fundamental.
Wilayah FSA berkurang drastis sebagian dikuasai kembali oleh rejim Bashar Al Assad.
Pasukan Assad yang didukung oleh intervensi militer dari Rusia dan Iran melancarkan serangan balasan yang sistematis. Dukungan udara Rusia yang masif dan bantuan milisi pro-Iran di darat memungkinkan mereka untuk merebut kembali kota-kota penting seperti Aleppo dan Homs. FSA, yang kehilangan dukungan dan sumber daya, dipaksa untuk menyerah atau mundur ke kantong-kantong terakhirnya.
Di bawah tekanan yang tak terhindarkan, banyak faksi FSA yang tersisa terfragmentasi. Beberapa bergabung dengan kelompok yang lebih kuat, sementara yang lain terpaksa berdamai dengan rezim dan menyerahkan senjata.
Kehadiran aktor-aktor asing, seperti Turki yang menanggung beban pengungsi dan Amerika Serikat, menambah lapisan kompleksitas, menciptakan zona pengaruh yang terpisah.
Saat ini, peta Suriah adalah cerminan dari perpecahan yang mendalam. Di bagian barat laut, Provinsi Idlib menjadi benteng terakhir oposisi. Pemerintahan sipil yang terpisah dibentuk bernama "Pemerintahan Penyelamat" (Salvation Government).
Pemerintahan ini berupaya memberikan layanan dasar dan menegakkan hukum, menciptakan sebuah entitas otonom yang berfungsi terpisah dari Damaskus.
Di wilayah utara Aleppo, sebuah pemerintahan lain telah berdiri. Pemerintahan Sementara Suriah (SIG), yang didukung langsung oleh Turki, mengelola wilayah-wilayah yang diamankan oleh operasi militer Turki, dan tempat pemulangan pengungsi.
Pemerintahan ini terdiri dari faksi-faksi pemberontak yang mengungsi dari berbagai wikayah dan berfungsi sebagai otoritas sipil di wilayah itu.
Sementara itu, di Suriah timur laut, sebuah entitas yang sama sekali berbeda telah muncul. Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang sebagian besar terdiri dari milisi Kurdi, yang sebelumnya merupakan mitra Assad menguat dan berhasil memperluas wilayahnya dengan dukungan AS dkk, SDF kini menguasai wilayah yang luas dan kaya akan minyak yang pengelolaannya diberikan ke perusahaan AS.
Mereka telah mendirikan administrasi sendiri, menciptakan sebuah wilayah otonom yang praktis beroperasi sebagai entitas terpisah. Kekuatan mereka yang didukung AS menjadikan mereka kekuatan penting dalam konflik yang tidak dapat diabaikan oleh faksi lain.
Selain itu, di kantong-kantong terpencil seperti Al-Tanf, sisa-sisa kecil pejuang FSA yang didukung AS masih bertahan, dan mendirikan 'negara mini' di kawasan pengungsi Al Rukban, namun pengaruh mereka sangat terbatas. Keberadaan mereka adalah pengingat akan masa lalu ketika FSA adalah kekuatan utama, yang kini telah terkikis.
Belakangan SG dan SIG bersatu melengserkan Assad dan kini menjadi pemerintahan resmi Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.
Sisa kekuatan Assad yang sudah lengser masih menguasai beberapa perkampungan di wilayah pesisir seperti Latakia dan Tartus.
Sementara faksi kecil sisa Assad di kalangan Druze kini mulai muncul berkoalisi dengan proyek neo kolonialisme Israel Raya atau Greater Israel yang telah melebarkan daerah jajahannya di Dataran Tinggi Golan sampai Quneitra.
Kini Pemerintahan Suriah yang baru berhadapan dengan SDF Kurdi yang dominan, dan 'negara mini' baru Druze di Suwaida.
Israel telah melakukan ratusan serangan ke Suriah untuk menunjukkan Tel Aviv mempunyai hak membantai warga Suriah sebagaimana di Gaza, Palestina dengan dukungan AS dan negara-negara Eropa di belakang layar.
Perjalanan Suriah dari protes damai ke perpecahan ini adalah contoh tragis bagaimana perang dan konspirasi global dapat sepenuhnya mengubah sebuah negara, meninggalkan masa depan yang tidak pasti bagi rakyatnya.










0 comments:
Post a Comment