Tuesday, September 2, 2025

Kabar Duka dari Jebel Marra Sudan

Kota El Fasher di Darfur Utara kembali bergejolak, menjadi saksi bisu pertempuran sengit yang tak kunjung usai antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Pertempuran di ibukota provinsi itu telah meningkat ke tingkat intensitas yang mengkhawatirkan, mengancam kehidupan ratusan ribu warga sipil yang terjebak di tengah kancah perang.

Suara artileri berat dan tembakan senapan mesin telah menjadi melodi horor yang menemani hari-hari warga yang ketakutan. Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pertempuran tidak hanya terjadi di garis depan militer, tetapi juga meluas hingga ke pasar dan pemukiman warga, menelan korban jiwa dari kalangan yang tidak bersalah.

Pasukan RSF, yang menguasai sebagian besar wilayah Darfur, kini mengepung El Fasher dari berbagai sisi. Blokade ketat ini telah memutus semua jalur pasokan, termasuk makanan, air bersih, dan obat-obatan. Kondisi kemanusiaan di dalam kota dilaporkan semakin memburuk dari jam ke jam.

Rumah sakit dan klinik darurat kewalahan menampung korban luka, sementara persediaan medis menipis. Banyak fasilitas kesehatan terpaksa berhenti beroperasi karena ketiadaan staf, obat-obatan, dan listrik. Kondisi ini diperparah dengan ancaman kelaparan dan penyakit menular yang mengintai di setiap sudut kota.

Namun, pasukan yang mempertahankan El Fasher bukanlah kelompok tunggal. Kekuatan utama adalah unit-unit dari Divisi Infanteri ke-6 SAF yang telah ditempatkan di sana sejak lama. Mereka adalah benteng terakhir pertahanan Angkatan Bersenjata Sudan di Darfur yang tersisa.

Posisi mereka semakin kuat dengan datangnya bala bantuan penting yang dilaporkan tiba dari wilayah lain di Darfur.

Pergerakan pasukan ini menunjukkan bahwa SAF bertekad untuk mempertahankan El Fasher, sebuah kota yang strategis dan penting bagi kendali seluruh wilayah.

Yang lebih krusial, pasukan SAF di El Fasher tidak berjuang sendirian. Mereka didukung oleh sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai kelompok bersenjata Darfuri.

Aliansi ini dikenal sebagai Pasukan Gabungan, dan mereka telah bersumpah untuk membantu mengusir RSF dari kota.
Kehadiran Pasukan Gabungan ini menambah lapisan kompleksitas pada konflik, mengubahnya dari pertarungan antara dua faksi utama menjadi pertempuran yang melibatkan banyak aktor lokal. Mereka telah membuktikan diri sebagai sekutu yang penting dalam upaya pertahanan kota.

Di tengah perang yang menghancurkan, sebuah tragedi lain melanda, jauh dari garis depan pertempuran El Fasher. Di wilayah pegunungan yang terjal, kekerasan alam menunjukkan sisi paling kejamnya dan mengingatkan dunia akan kerapuhan hidup di sana.

Otoritas sipil di wilayah yang dikendalikan oleh Gerakan Pembebasan Sudan (SLM/A) menyampaikan sebuah berita duka yang mendalam. Sebuah desa bernama Tarseen di tengah Jebel Marra hancur lebur diterjang oleh tanah longsor dahsyat.

Bencana yang memilukan ini, menurut laporan, terjadi pada hari Minggu akibat hujan lebat yang terus mengguyur wilayah tersebut selama seminggu penuh di bulan Agustus lalu. Curah hujan yang ekstrem membuat tanah menjadi tidak stabil, hingga akhirnya longsor pun tak terhindarkan.

Informasi awal yang disampaikan oleh otoritas setempat menunjukkan skala kehancuran yang tak terbayangkan. Seluruh penduduk desa, yang diperkirakan berjumlah lebih dari seribu orang, dilaporkan meninggal dunia di tempat.

Satu-satunya yang berhasil selamat adalah seorang individu yang keberadaannya secara ajaib ditemukan setelah bencana. Nasibnya yang tragis sekaligus beruntung menjadi satu-satunya saksi bisu dari kehancuran total yang melanda.

Kelompok yang melaporkan tragedi ini, SLM/A, dipimpin oleh seorang tokoh kunci bernama Abdul Wahid al-Nur. Posisinya dalam konflik Sudan sangatlah unik karena kelompoknya memilih untuk menempatkan diri sebagai pihak yang netral.

Tidak seperti kelompok-kelompok bersenjata lain yang bersekutu dengan SAF atau RSF, SLM/A fokus pada perjuangan otonomi dan perlindungan rakyat mereka. Hal ini menjadikan mereka sebagai entitas yang berbeda dari aktor-aktor lain dalam perang saudara tersebut.

Kawasan yang mereka kuasai, pegunungan Jebel Marra, sebuah wilayah pariwisata, dapat secara fungsional disebut sebagai "negara di dalam negara" di tengah persaingan dua pemerintahan SAF dan RSF. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Sudan, wilayah ini memiliki otoritas sipil dan militer sendiri yang tidak tunduk pada pemerintah pusat.

Kemandirian ini telah memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dan mempertahankan wilayah di tengah-tengah kekacauan. Namun, tragedi tanah longsor ini menunjukkan bahwa otonomi politik tidak dapat memberikan perlindungan dari bencana alam.

Baik tragedi di Jebel Marra maupun perang di El Fasher adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya menyoroti kerentanan masyarakat Sudan yang terjebak di antara kekerasan politik dan kekejaman alam.

Kondisi ini menunjukkan bahwa mencapai perdamaian di Sudan tidak hanya membutuhkan solusi militer atau politik. Ini juga memerlukan perhatian terhadap keamanan manusia dan kerentanan mereka terhadap bencana alam.

Masa depan Sudan, terutama di wilayah Darfur, tetap suram. Rakyatnya terus terjepit di antara konflik yang menghancurkan dan bencana alam yang tak terduga, menyoroti tantangan besar yang harus dihadapi untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas jangka panjang.


0 comments:

Miliarder Batak

Berita Tarutung

Daftar Restoran dan Hotel Batak

Pesantren Berbagi

Lowongan

Artis dan Nasyid Daerah

TSCFWA

PESANTREN ANTARIKSA

ACDI

Biak Spaceport

CAR&AUTOnews

Falak dan Antariksa

Space Tourism

BARUSNews