Dalam dinamika politik perang saudara, kerap muncul fenomena “pemerintahan paralel” yang berusaha menegaskan klaim legitimasi meski hanya menguasai sebagian wilayah. Dua contoh mencolok adalah Syrian Interim Government (SIG) di Azaz pada masa lalu dan pemerintahan paralel versi Nyala yang dibentuk Rapid Support Forces (RSF) di Sudan. Keduanya menampilkan daftar pejabat gubernur yang mencakup seluruh provinsi, meskipun secara faktual hanya mengendalikan sebagian kecil wilayah.
Pada masa sebelum kejatuhan rezim Bashar al-Assad, pemerintahan oposisi SIG yang beroperasi di Azaz pernah mengumumkan daftar gubernur untuk semua provinsi Suriah. Langkah ini mengundang pertanyaan karena kendali nyata SIG terbatas pada kantong oposisi di utara, yang sebagian besar bergantung pada dukungan Turki. Meski begitu, daftar gubernur itu bukan tanpa fungsi.
Secara praktis, penunjukan gubernur SIG digunakan untuk mengatur pengungsi dari berbagai provinsi yang ditampung di kamp-kamp di wilayah Turki atau di dekat perbatasan. Pengungsi dari Hama, Idlib, Deir ez-Zor, atau Aleppo misalnya, memiliki koordinator yang disebut “gubernur” untuk memastikan identitas komunitas asal mereka tetap terjaga. Dengan begitu, struktur itu lebih menyerupai administrasi komunitas ketimbang pemerintahan teritorial.
Secara politik, daftar gubernur itu juga berfungsi sebagai simbol klaim nasional. Dengan menampilkan pejabat dari seluruh provinsi, SIG berusaha menunjukkan diri sebagai perwakilan sah seluruh Suriah, bukan sekadar kelompok oposisi di Azaz. Itu menjadi cara menjaga legitimasi di mata dunia internasional maupun sponsor luar negeri.
Namun, begitu rezim Assad benar-benar tumbang dan Damaskus dikuasai, struktur gubernur versi SIG tidak berlanjut secara otomatis karena sudah melebur menjadi entitas baru yang menguasai Damaskus.
Dalam kepemimpinan Presiden Ahmed Al Sharaa di Damaskus, daftar gubernur oposisi lama hanya sebagian kecil yang bertahan, terutama mereka yang punya basis dukungan kuat di komunitas pengungsi.
Banyak jabatan gubernur yang digantikan tokoh baru sesuai dengan realitas politik pasca-Assad. Dengan demikian, daftar gubernur SIG di masa Azaz bisa disebut sebagai posisi transisional yang lebih menekankan simbol legitimasi ketimbang otoritas administratif permanen.
Fenomena serupa kini tampak dalam kabinet pemerintahan paralel RSF di Nyala. Meski Khartoum tidak lagi mereka kuasai, RSF tetap mencantumkan posisi gubernur Khartoum dalam struktur pemerintahan mereka, yang di rangkap oleh anggota dewan transisi. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan SIG dulu: menunjukkan klaim bahwa mereka masih menjadi kekuatan nasional, bukan sekadar kelompok Darfur.
Dalam praktiknya, gubernur Khartoum versi Nyala tidak punya kekuasaan administratif nyata. Wilayah ibu kota sudah sepenuhnya berada dalam kendali tentara reguler Sudan (SAF). Namun pencantuman itu dimaksudkan untuk mengirim sinyal politik, baik kepada rakyat Sudan maupun sponsor asing, bahwa RSF belum menyerah dalam perebutan legitimasi nasional.
Seperti SIG, struktur gubernur RSF juga lebih bersifat simbolis. Mereka berperan menjaga klaim politik, sekaligus menjadi alat propaganda bahwa RSF masih “pemerintahan alternatif” bagi seluruh Sudan. Secara fungsional, peran mereka kemungkinan hanya terbatas pada komunitas pendukung di diaspora atau wilayah pengungsi yang masih terhubung dengan RSF.
Hal ini menunjukkan pola yang sama dalam konflik sipil modern: pemerintahan paralel membangun institusi simbolik untuk menegaskan eksistensi. Realitas lapangan mungkin menunjukkan kontrol yang terbatas, tetapi daftar pejabat yang mencakup seluruh negara dipakai untuk meneguhkan klaim sebagai otoritas nasional.
Baik SIG maupun RSF memahami pentingnya “narasi legitimasi” di samping kekuatan militer. Daftar gubernur, kabinet, atau dewan presidensial mereka tidak hanya berfungsi secara administratif, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi untuk menjaga dukungan luar negeri.
Pada akhirnya, nasib struktur simbolis ini bergantung pada hasil perang. Di Suriah, struktur gubernur SIG melebur setelah pemerintahan baru terbentuk di Damaskus. Di Sudan, masa depan gubernur simbolis versi Nyala juga akan ditentukan oleh apakah RSF bisa bertahan atau justru melebur ke dalam tatanan politik baru jika konflik berakhir.
Fenomena ini menggarisbawahi kenyataan pahit perang saudara: pemerintahan paralel sering kali membangun bayangan negara yang tak sepenuhnya nyata. Struktur itu bisa runtuh begitu rezim baru terbentuk, atau berubah menjadi institusi resmi jika pihak mereka yang keluar sebagai pemenang.
Bagi RSF, pencantuman gubernur Khartoum meski tanpa kontrol nyata adalah bentuk perlawanan psikologis. Mereka ingin mengirim pesan bahwa pertarungan belum selesai. Sama seperti SIG di masa lalu, daftar gubernur lebih banyak berbicara soal legitimasi daripada kekuasaan administratif.
Dengan kata lain, “gubernur simbolis” adalah bagian dari strategi politik dalam konflik internal. Ia mungkin tidak mengelola wilayah, tetapi punya nilai strategis dalam mempertahankan narasi, menjaga dukungan, dan mempersiapkan posisi jika rezim lawan runtuh.
Kasus Libya
Dua pemerintahan paralel di Libya—yakni Government of National Accord (GNA) di Tripoli dan House of Representatives (HoR) bersama Libyan National Army (LNA) di Tobruk—juga sempat melakukan hal serupa dengan model “jabatan simbolis”. Meski kendali mereka terbatas pada wilayah tertentu, keduanya tetap membentuk struktur pemerintahan yang lengkap, seolah-olah menguasai seluruh Libya.
Pemerintahan Tripoli di bawah Fayez al-Sarraj misalnya, mengumumkan daftar kementerian dan gubernur di berbagai provinsi meskipun sebagian besar wilayah timur dan selatan dikuasai LNA. Tujuannya jelas untuk menunjukkan legitimasi penuh sebagai satu-satunya pemerintahan sah, terutama di mata PBB yang memang mengakui GNA. Banyak pejabat yang ditunjuk sebenarnya tidak memiliki kontrol administratif nyata di wilayah klaimnya.
Sebaliknya, pemerintahan Tobruk yang didukung Jenderal Khalifa Haftar juga meniru pola yang sama. Mereka menunjuk pejabat gubernur dan membentuk kabinet lengkap, meski kontrol administratifnya sering hanya terbatas pada Benghazi, Sirte, dan sebagian timur Libya. Bagi Haftar, struktur simbolis ini penting untuk mengirim sinyal bahwa mereka bukan sekadar kelompok militer, melainkan pemerintahan tandingan yang sah.
Seperti kasus Suriah dan Sudan, pola di Libya menunjukkan bahwa pemerintahan paralel tidak ingin dianggap hanya sebagai kelompok wilayah. Dengan daftar gubernur dan kementerian lengkap, keduanya berusaha menampilkan diri sebagai otoritas nasional penuh, meskipun kenyataan di lapangan jauh berbeda. Daftar itu lebih banyak dipakai untuk tujuan propaganda dan diplomasi ketimbang untuk menjalankan administrasi pemerintahan secara nyata.
Akhirnya, pola ini menggambarkan satu benang merah: dalam konflik sipil, struktur pemerintahan paralel sering kali membangun “negara bayangan” yang tidak sepenuhnya berfungsi. Namun, simbolisme itu memiliki nilai politik yang besar, baik untuk menjaga legitimasi, menarik dukungan eksternal, maupun menyiapkan posisi tawar jika kelak terjadi rekonsiliasi atau perubahan rezim.
Baca selengkapnya
0 comments:
Post a Comment