Ada tanda bahwa kedua pihak, baik PM maupun oposisi, sama-sama berhati-hati. PM tidak ingin memberi kesan bahwa ia sedang menggerakkan militer melawan oposisi, sementara oposisi sendiri tidak ingin dianggap bersekongkol dengan sisa-sisa rezim Assad. Akibatnya, isu pertahanan udara yang sangat penting justru tidak mendapat perhatian. Mereka sama-sama fokus pada legitimasi politik, bukan kesiapan menghadapi ancaman eksternal.
Selain itu, ada dugaan kuat bahwa pengikut Assad yang masih menempati posisi vital di sektor pertahanan sengaja membubarkan diri. Mereka lebih memilih meninggalkan pos daripada berpotensi melayani pemerintahan baru. Kesetiaan mereka dianggap eksklusif kepada Assad, bukan kepada negara. Itulah sebabnya radar dimatikan, awak rudal pergi, dan pos komando udara kosong tanpa perlawanan.
Jika benar ada unsur kesengajaan, maka hal itu sejalan dengan pola “scorched earth” politik, yaitu meninggalkan kekosongan agar pemerintahan baru kesulitan membangun legitimasi. Apalagi memang ada sinyalemen sebagian militer Assad, khususnya dari sebagian kalangan Druze memang berkoordinasi dengan Israel dan SDF Kurdi di berbagai lokasi bahkan ada yang menyeberang ke perbatasan Irak. Pasukan Suriah di Qamishli, Hasakah memilih menyerah dan bergabung dengan SDF Kurdi.
Dengan pertahanan udara lumpuh, oposisi yang menguasai Damaskus akan menghadapi tantangan dari serangan udara Israel atau pihak luar, tanpa perlindungan memadai. Kondisi itu secara tidak langsung memberi pesan bahwa hanya Assad yang bisa menjaga kedaulatan.
Pada akhirnya, kombinasi dari kurangnya koordinasi antara PM dan oposisi, kehati-hatian politik, serta potensi sabotase dari loyalis Assad membuat pertahanan udara benar-benar kolaps. Bukan semata karena lemahnya struktur militer, tetapi juga karena pertarungan legitimasi yang begitu dominan. Dengan begitu, kejatuhan Damaskus tidak hanya simbol runtuhnya rezim, tetapi juga bukti bagaimana politik bisa melumpuhkan kekuatan militer yang seharusnya menjadi benteng terakhir negara.
Skenario
Kalau kita membayangkan skenario ideal, ada beberapa langkah yang seharusnya bisa dilakukan perdana menteri terakhir Assad untuk memastikan transisi kekuasaan berjalan mulus, sekaligus mempertahankan fungsi pertahanan udara dan laut.
Pertama, PM seharusnya segera mengambil alih otoritas penuh atas militer setelah Assad kabur. Walaupun secara formal jabatan panglima tertinggi ada pada presiden, dalam keadaan darurat ia bisa mendeklarasikan dirinya sebagai pengendali sementara untuk menghindari kekosongan komando. Langkah ini akan memberi kejelasan kepada tentara, bahwa masih ada figur negara yang sah untuk menerima perintah.
Kedua, ia perlu mengeluarkan dekrit khusus yang menekankan bahwa pertahanan udara dan angkatan laut tidak boleh berhenti beroperasi. Dekrit itu harus jelas: mereka tidak terlibat dalam konflik internal, tetapi hanya difungsikan untuk melindungi negara dari ancaman eksternal, terutama serangan udara Israel. Dengan perintah seperti ini, moral prajurit bisa dipulihkan karena tugasnya dipersempit pada misi patriotik, bukan perang saudara.
Ketiga, PM seharusnya langsung menghubungi perwira tinggi di sektor udara dan laut untuk memastikan rantai komando berjalan. Jika perlu, ia bisa menunjuk komandan baru yang lebih netral dan memiliki kepercayaan dari semua pihak, sehingga pasukan tidak tercerai-berai. Koordinasi langsung sangat penting agar mereka tidak merasa ditinggalkan.
Keempat, komunikasi dengan oposisi juga krusial. Begitu ada kontak dengan pasukan yang masuk ke Hama atau Daraa, PM bisa menyepakati “garis merah” bersama bahwa sektor pertahanan strategis tidak boleh disentuh. Artinya, meskipun pemerintahan beralih, radar, pelabuhan, kapal, dan sistem rudal tetap dijaga untuk kepentingan bersama. Itu akan memberi sinyal bahwa transisi berjalan dewasa, bukan balas dendam.
Kelima, ia perlu membentuk semacam komite transisi militer-sipil yang melibatkan perwakilan oposisi, perwira netral, dan birokrat. Komite ini bisa bertugas mengawasi agar persenjataan vital tidak dijarah atau ditinggalkan. Dengan pengawasan kolektif, rasa saling percaya bisa tumbuh di antara pihak lama dan pihak baru.
Keenam, PM juga sebaiknya mengundang pihak asing yang punya pengaruh, termasuk Rusia, untuk menjadi penjamin transisi. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi loyalis Assad untuk membubarkan diri secara diam-diam, karena ada “mata pengawas” internasional yang bisa menuntut akuntabilitas. Rusia sendiri, bila dilibatkan, mungkin akan memaksa militer tetap beroperasi demi menjaga kepentingan mereka di Suriah.
Ketujuh, penting pula untuk memberi jaminan hukum bagi prajurit. Banyak tentara melarikan diri karena takut dihukum oleh rezim baru. Jika PM bisa menegaskan bersama oposisi bahwa tentara yang tetap bertugas di sektor strategis tidak akan dipersekusi, mereka akan lebih berani bertahan. Tanpa perlindungan hukum, rasa takut pasti lebih kuat daripada loyalitas.
Kedelapan, PM harus menekankan bahwa pertahanan udara dan laut adalah aset negara, bukan rezim. Dengan narasi nasionalis semacam ini, ia bisa menggeser persepsi tentara dari membela Assad menjadi membela Suriah. Narasi ini penting karena dapat menahan efek domino kejatuhan moral di kalangan prajurit.
Kesembilan, PM juga perlu menghindari kekacauan di level birokrasi sipil. Jika pelayanan publik tetap jalan, citra pemerintah transisi akan positif. Dengan begitu, oposisi dan masyarakat lebih percaya bahwa negara masih berdiri, sehingga tidak ada dorongan untuk membongkar habis institusi lama, termasuk militer.
Kesepuluh, pada akhirnya yang paling penting adalah kejelasan arah. Tanpa deklarasi yang lugas, tentara bingung apakah mereka sedang membela negara atau hanya tersisa dari rezim lama. Jika PM Assad terakhir bisa menegaskan posisi negara di atas segalanya, mempertahankan pertahanan udara dan laut bukan mustahil, bahkan bisa menjadi simbol rekonsiliasi awal antara pihak lama dan oposisi.
Kasus Kabul
Menariknya, apa yang seharusnya dilakukan PM Suriah di masa kejatuhan Assad punya kemiripan dengan pengalaman Afghanistan ketika Presiden Ashraf Ghani kabur dari Kabul pada 2021. Kala itu, justru bukan presiden atau perdana menteri yang mengambil alih, melainkan kepala rumah tangga kepresidenan. Tokoh inilah yang akhirnya menyerahkan kunci istana kepada Taliban secara damai, demi mencegah kerusuhan besar di ibu kota.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi darurat, seseorang yang bukan bagian dari garis suksesi resmi pun bisa mengambil peran simbolis demi transisi yang lebih teratur. Kepala rumah tangga Ashraf Ghani bertindak sebagai figur administratif yang menjembatani kekosongan, meskipun tanpa legitimasi politik penuh. Namun perannya cukup penting: memastikan proses pengambilalihan istana tidak menimbulkan bentrokan berdarah.
Jika ditarik paralel dengan Suriah, seharusnya PM Assad terakhir bisa memainkan peran serupa—sebagai figur negara yang menahan kekosongan. Ia bisa menggunakan otoritas sipilnya untuk mengatur transisi, memastikan militer strategis seperti pertahanan udara dan laut tidak bubar, sambil membuka ruang bagi oposisi untuk masuk secara lebih tertib. Dengan begitu, transisi tidak terkesan kacau atau penuh sabotase.
Kasus Kabul membuktikan bahwa peran administratif sederhana, seperti menyerahkan kunci istana, bisa membawa dampak besar terhadap kestabilan. Suriah pada saat kejatuhan Assad pun memerlukan simbol semacam itu, entah berupa serah terima komando atau pernyataan resmi bahwa lembaga pertahanan tetap beroperasi di bawah nama negara, bukan rezim. Tanpa langkah simbolis, runtuhnya Damaskus otomatis menyeret jatuh semua institusi vitalnya.
Oleh karena itu, pelajaran penting dari Afghanistan adalah: jangan biarkan kekosongan total. Bahkan seorang kepala rumah tangga bisa membuat perbedaan, apalagi seorang perdana menteri. Jika ia berani mengambil posisi netral atas nama negara, transisi bisa lebih damai, militer tidak tercerai-berai, dan negara tetap punya instrumen pertahanan menghadapi ancaman luar.










0 comments:
Post a Comment