Kepergian Bashar al-Assad dari Damaskus menjadi titik balik yang mengubah wajah Suriah. Pada saat itu, rakyat menunggu satu figur yang mampu memastikan negara tidak runtuh bersama rezim. Figur itu seharusnya adalah perdana menteri terakhir. Namun yang muncul justru pidato penuh kehati-hatian, tanpa keberanian mengambil langkah sebagai negarawan sejati.
Banyak pengamat menilai, seandainya perdana menteri saat itu berani mengambil alih posisi simbolis sebagai penanggung jawab negara, situasi bisa berbeda. Ia bisa menyatakan bahwa meskipun presiden telah lari, negara tetap berdiri, dan rakyat masih memiliki pelindung. Dengan kata lain, transisi tidak harus berarti kekosongan.
Kelemahan pidato sang perdana menteri adalah ia hanya menekankan rekonsiliasi politik, tanpa menyentuh aspek vital pertahanan. Padahal, saat itulah Suriah membutuhkan pernyataan jelas bahwa pertahanan udara dan laut tetap berfungsi menghadapi ancaman eksternal. Sikap ragu-ragu membuat militer tercerai-berai, dan oposisi pun masuk tanpa menghadapi struktur negara yang utuh.
Seorang negarawan akan melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi. Ia akan sadar bahwa loyalis Assad bisa melakukan sabotase, meninggalkan radar dan kapal perang tanpa kru. Karena itu, deklarasi publik sangat penting, agar ada legitimasi bagi pengganti untuk mengisi kekosongan pos-pos vital tersebut.
Dengan menyatakan secara tegas bahwa pertahanan adalah milik negara, bukan rezim, ia bisa menutup ruang bagi loyalis untuk memonopoli simbol kedaulatan. Justru yang meninggalkan pos akan dianggap pengkhianat negara, bukan pahlawan setia Assad. Logika politik semacam ini bisa membalik persepsi publik secara cepat.
Negarawan juga tidak ragu membentuk komite transisi bersama oposisi. Komite itu bisa mengawasi peralatan strategis agar tidak dijarah atau rusak. Dengan pengawasan kolektif, oposisi tidak merasa ditipu, sementara tentara yang netral punya jaminan keamanan untuk tetap bekerja.
Kesalahan terbesar sang perdana menteri adalah membiarkan transisi berjalan tanpa arah. Ia meminta pegawai negeri tetap di kantor, tetapi tidak menyebutkan bagaimana nasib pasukan pertahanan. Akibatnya, radar dimatikan, kapal ditinggalkan, dan senjata strategis menjadi besi tua. Semua itu sebenarnya bisa dihindari jika ada pengumuman negarawan.
Bila perdana menteri menyatakan dirinya hanya taat pada negara, bukan pada rezim Assad, ia bisa menjadi simbol netralitas. Oposisi pun akan lebih mudah menerima keberadaannya, karena ia tidak dianggap sebagai sisa rezim, melainkan jembatan menuju Suriah baru.
Deklarasi semacam itu akan memberi peluang bagi komunitas internasional untuk ikut menjaga transisi. Rusia, Turki, hingga PBB mungkin tidak akan menolak jika melihat ada figur sipil yang menjamin kontinuitas institusi negara. Tanpa itu, dunia melihat hanya kekosongan, dan lawan-lawan Suriah bebas beraksi.
Seorang negarawan tidak berhenti pada pidato damai. Ia harus mengeluarkan dekrit darurat, memerintahkan militer strategis siaga terhadap serangan luar, sambil menyerahkan urusan politik dalam negeri kepada oposisi. Dengan begitu, transisi tidak berarti negara kehilangan pertahanan.
Selain itu, ia juga harus memberi jaminan hukum kepada prajurit yang tetap di pos. Banyak tentara kabur karena takut dihukum oleh rezim baru. Padahal, bila ada jaminan bahwa mereka yang menjaga radar dan kapal perang tidak akan dikejar, motivasi bertahan pasti lebih besar.
Negarawan sejati juga akan berani menunjuk komandan baru di sektor udara dan laut. Komandan netral yang diterima oleh semua pihak bisa menjaga agar sistem tetap berfungsi. Tanpa pengganti, posisi vital jatuh ke kekosongan, dan sabotase loyalis Assad berhasil.
Bayangkan jika pertahanan udara tetap menyala. Israel tidak bisa seenaknya menyerang target di Suriah, karena ada risiko balasan. Itu akan memberi waktu bagi oposisi dan rakyat untuk membangun kembali pemerintahan tanpa tekanan eksternal. Semua ini gagal terjadi karena perdana menteri hanya memilih diam.
Tidak kalah penting, seorang negarawan akan menekankan narasi nasionalis: bahwa negara lebih besar dari Assad, lebih besar dari oposisi, lebih besar dari dirinya sendiri. Dengan narasi itu, rakyat bisa percaya bahwa meski rezim jatuh, Suriah tetap berdiri.
Ketiadaan langkah negarawan membuat rakyat menyaksikan negara runtuh seperti rumah tanpa tiang. Birokrasi masih ada, tetapi pertahanan hilang. Oposisi masuk, tetapi simbol kedaulatan lenyap. Itulah akibat dari pemimpin yang hanya berhitung aman, bukan berpikir jauh ke depan.
Banyak orang berpendapat, perdana menteri saat itu takut disabotase, atau takut kehilangan nyawa. Namun bukankah itulah perbedaan utama antara politisi biasa dan negarawan? Seorang negarawan siap mengorbankan diri demi kelangsungan negara, bukan sekadar mempertahankan rumahnya.
Jika saja ia lebih berani, sejarah Suriah akan mencatatnya sebagai jembatan emas antara rezim lama dan masa depan. Ia akan dikenang sebagai orang yang mencegah kehancuran total, bukan hanya sebagai sosok yang membaca pidato terakhir.
Kini, pelajaran penting bisa dipetik. Dalam situasi jatuhnya rezim, negara membutuhkan figur yang berani berdiri di atas semua kepentingan, bahkan di atas keselamatan dirinya sendiri. Tanpa itu, transisi hanya berarti kekosongan, dan kekosongan selalu diisi oleh kekacauan.
Suriah kehilangan momen itu. Tetapi sejarah akan terus mengingat: jika saja perdana menteri terakhir era Assad lebih negarawan, mungkin sistem pertahanan udara Suriah itu tidak sekelam hari ini.










0 comments:
Post a Comment